Kemarau panjang yang melanda Indonesia pertengahan sampai akhir tahun 2015 bukan hanya berdampak pada petani holtikultura yang tanamannya hanya berumur pendek tetapi dampak kemarau panjang ini ikut dirasakan dan dampaknya terlihat jauh lebih besar pada petani tanaman keras seperti cengkih.
Diperkirakan jutaan tanaman cengkih mati karena kekeringan belum lagi yang mati karena kebakaran hutan dan perkebunan. Hal ini sangat nampak terlihat di sentra-sentra tanaman cengkih di kabupaten Minahasa, Minahasa Tenggara dan Minahasa Selatan. Menurut Decky Pua dari desa Wawona , Tumpaan, di beberapa tempat cengkih yang mati mencapai 100 persen. Rata-rata cengkih di tanah yang miring di pegunungan mati kering, di tanah yang agak rata masih ada sekitar 50 persen yang bertahan terutama di dataran rendah.
Meydi Mumu, petani cengkih dari desa Kolongan Atas kecamatan Sonder memperkirakan harga cengkih akan melambung tinggi tahun ini karena menurutnya, sangat banyak cengkih yang mati. “Coba jo lia di gunung-gunung, dapa lia putih-putih, kering tu pohon-pohon cingkeh, biar so ujang tapi so ndak batunas”, celetuknya. “Masih beruntung sebagian kit ape cingkeh ndak mati, yang ada di rata”, lanjutnya.
Hal senada juga disampaikan Yoppy Lontoh yang memiliki kebun cengkih di desa Wawona, Tumpaan. Menurutnya, harga cengkih pasti akan naik tinggi. Vecky Watti yang baru saja menjual cengkihnya di pembeli cengkih di Tondano (15/2) mengaku cengkihnya dihargakan Rp. 128.000/kg. “Tahun lalu pernah mencapai Rp. 110.000/kg, di Manado ada yang membeli Rp. 130.000/kg, tapi tahun ini bisa mencapai Rp. 200.000/kg”, prediksinya.