Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku kesal atas masih tertutupnya akses bagi TNI untuk masuk ke wilayah Filipina demi membebaskan 10 warga negara Indonesia yang menjadi sandera jaringan teroris Abu Sayyaf. Ia pun memberi gambaran konsekuensi yang bisa muncul apabila tak kunjung ada akses.
“Biarin aja Filipina nanti mati lampu. Sebanyak 96 persen batu bara (untuk listrik di sana) dari kita kok,” ujar Gatot di kompleks Istana Kepresidenan, Senin, 11 Juli 2016.
Sebagaimana diketahui, total sudah 10 WNI yang menjadi sandera di Filipina. Semuanya disandera jaringan teroris Abu Sayyaf. Adapun tiga di antaranya baru disandera pada 9 juli lalu.
Mereka yang disandera pekan lalu adalah awak kapal penangkap ikan LLD 113/5/F berbendera Malaysia. Mereka diculik ketika tengah melaut di perairan Malaysia, tepatnya di Lahad Datu.
Pada 10 Juli, penyandera menghubungi pemilik kapal di Lahad Datu melalui WNI yang disandera itu. Mereka yang disandera tersebut diketahui bernama Theodorus Kopong, Emanuel, serta Lorens Koten, yang diyakini berasal dari Flores Timur.
Gatot melanjutkan, Filipina bisa dibuat “mati lampu” dengan melakukan moratorium pengiriman batu bara ke sana. Alasan yang dipakai bisa dengan mengatakan Filipina tidak cukup aman bagi kapal-kapal dari Indonesia, mengingat seringnya terjadi penyanderaan di sana.
Saat ini, kata Gatot, moratorium yang berlangsung baru terkait dengan jalur pelayaran yang melalui kawasan Jolo saja. Kawasan Jolo diyakini sebagai basis aktivitas jaringan Abu Sayyaf.
“Saya enggak mengatakan ultimatum. Kita enggak bisa mengultimatum. Yang penting moratorium. Tinggal bagaimana mengontrol, jangan sampai ada yang lolos ke sana supaya mereka (Filipina) beri izin,” tutur Gatot.