Lima mahasiswa asal Indonesia di Jepang, yang menjadi korban gempa Kumamoto tiba di Tokyo pukul 23.35, Rabu, 20 April 2016. Mereka disambut Duta Besar RI untuk Jepang, Yusron Ihza Mahendra beserta staf di lobi KBRI Tokyo.
Kelima korban yang dievakuasi ini dalam keadaan sehat, walaupun tampak kelelahan. Selain akibat gempa, jarak antara Kumamoto-Tokyo cukup jauh.
“Kami telah menyiapkan tempat penampungan sementara bagi kawan-kawan yang dievakuasi ke Tokyo ini. Lokasinya berdekatan dengan KBRI Tokyo guna memudahkan penanganan,” kata Yusron dalam rilis KBRI Tokyo.
KBRI Tokyo berkomuniasi dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kumamoto, PPI Fukuoka, PPI Hiroshima, komunitas Masjid Kumamoto dan komunitas Masjid Hiroshima. Sebelum akhirnya menyepakati tujuan evakuasi akan meliputi Hiroshima, Fukuoka, dan Tokyo.
Ada pula sejumlah mahasiswa memutuskan untuk pulang sementara ke Indonesia.
Opsi evakuasi diambil setelah mempertimbangkan situasi Kumamoto yang masih berisiko diguncang gempa susulan. Selain itu, evakuasi juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya trauma yang lebih dalam.
Adanya rencana pemerintah Jepang untuk menutup shelter-shelter pengungsian di Kumamoto, tentu menjadi pemicu penting bagi ditempuhnya opsi evakuasi itu.
Kelima mahasiswa Indonesia yang memilih evakuasi ke Tokyo adalah Dita Primaoktasa, Fatin Adriati, Muhammad Fikri Ramadhana, Bondan Suwandi, dan Harry Susanto.
Para korban gempa dalam pertemuan dengan Duta Besar beserta staf KBRI Tokyo, menyampaikan apresiasi atas kesigapan berbagai pihak dalam menangani para warganya dalam keadaan darurat. Trauma akibat gempa belum reda dan masih menghantui, Namun evakuasi diharapkan akan membantu menenangkan mental dan pikiran.
Selain warga atau mahasiswa Indonesia yang telah dievakuasi, ada pula sejumlah mahasiswa ataupun warga Indonesia memilih bertahan di Kumamoto. Sebagian mereka bermaksud untuk bersama-sama dengan tim membantu para warga lainnya sembari memantau perkembangan situasi.
Tentang penutupan sheter-shelter pengungsian, info terakhir menyebutkan bahwa Pemerintah Jepang urung menutup shelter-shelter tersebut. Hal ini terutama karena pemerintah Jepang masih belum mengizinkan warga pulang ke tempat tinggal masing-masing sebelum adanya assessment terhadap layak tidaknya bangunan mereka untuk dihuni.
Dua gempa besar mengguncang Kumamoto dua pekan lalu. Sedikitnya 42 orang tewas dan 2.000 luka-luka. Tidak ada WNI yang menjadi korban, namun banyak rumah-rumah dan bangunan hancur. (tempo)